Dampak “Broken home” bagi anak
Masa
remaja adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis
sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Remaja berada dalam masa
peralihan. Dalam masa peralihan itu pula remaja sedang mencari
identitasnya.
Dalam proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa
membingungkan dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari
orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau
keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa fungsi keluarga
adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa
kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut.
Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang
memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik
internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan
kemauan yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan
sebaginya. masalah keluarga yang broken home bukan menjadi masalah baru
tetapi merupakan masalah yang utama dari akar-akar kehidupan seorang
anak. Keluarga merupakan dunia keakraban dan diikat oleh tali batin,
sehingga menjadi bagian yang vital dari kehidupannya.
Penyebab timbulnya keluarga yang broken home antara lain:
Perceraian menunjukkan suatu kenyataan dari kehidupan suami istri
yang tidak lagi dijiwai oleh rasa kasih sayang dasar-dasar perkawinan
yang telah terbina bersama telah goyah dan tidak mampu menompang
keutuhan kehidupan keluarga yang harmonis. Dengan demikian hubungan
suami istri antara suami istri tersebut makin lama makin renggang,
masing-masing atau salah satu membuat jarak sedemikian rupa sehingga
komunikasi terputus sama sekali. Hubungan itu menunjukan situas
keterasingan dan keterpisahan yang makin melebar dan menjauh ke dalam
dunianya sendiri. jadi ada pergeseran arti dan fungsi sehingga
masing-masing merasa serba asing tanpa ada rasa kebertautan yang intim
lagi.
- Kebudayaan bisu dalam keluarga
Kebudayaan bisu ditandai oleh tidak adanya komunikasi dan dialog
antar anggota keluarga. Problem yang muncul dalam kebudayaan bisu
tersebut justru terjadi dalam komunitas yang saling mengenal dan diikat
oleh tali batin. Problem tersebut tidak akan bertambah berat jika
kebudayaan bisu terjadi diantara orang yang tidak saling mengenal dan
dalam situasi yang perjumpaan yang sifatnya sementara saja. Keluarga
yang tanpa dialog dan komunikasi akan menumpukkan rasa frustasi dan
rasa jengkel dalam jiwa anak-anak. Bila orang tua tidak memberikan
kesempatan dialog dan komunikasi dalam arti yang sungguh yaitu bukan
basa basi atau sekedar bicara pada hal-hal yang perlu atau penting
saja; anak-anak tidak mungkin mau mempercayakan masalah-masalahnya dan
membuka diri. Mereka lebih baik berdiam diri saja. Situasi kebudayaan
bisu ini akan mampu mematikan kehidupan itu sendiri dan pada sisi yang
sama dialog mempunyai peranan yang sangat penting. Kenakalan remaja
dapat berakar pada kurangnya dialog dalam masa kanak-kanak dan masa
berikutnya, karena orangtua terlalu menyibukkan diri sedangkan
kebutuhan yang lebih mendasar yaitu cinta kasih diabaikan. Akibatnya
anak menjadi terlantar dalam kesendirian dan kebisuannya. Ternyata
perhatian orangtua dengan memberikan kesenangan materiil belum mampu
menyentuh kemanusiaan anak. Dialog tidak dapat digantikan kedudukannya
dengan benda mahal dan bagus. Menggantikannya berarti melemparkan anak
ke dalam sekumpulan benda mati.
- Perang dingin dalam keluarga
Dapat dikatakan perang dingin adalah lebih berat dari pada
kebudayaan bisu. Sebab dalam perang dingin selain kurang terciptanya
dialog juga disisipi oleh rasa perselisihan dan kebencian dari
masing-masing pihak. Awal perang dingin dapat disebabkan karena suami
mau memenangkan pendapat dan pendiriannya sendiri, sedangkan istri
hanya mempertahankan keinginan dan kehendaknya sendiri.
Dalam mengatasi kenakalan remaja yang paling dominan adalah dari
keluarga yang merupakan lingkungan yang paling pertama ditemui seorang
anak. Di dalam menghadapi kenakalan anak pihak orang tua kehendaknya
dapat mengambil dua sikap bicara yaitu:
Sikap atau cara yang bersifat preventif
Yaitu perbuatan/tindakan orang tua terhadap anak yang bertujuan untuk
menjauhkan si anak daripada perbuatan buruk atau dari lingkungan
pergaulan yang buruk. Dalam hat sikap yang bersifat preventif, pihak
orang tua dapat memberikan atau mengadakan tindakan sebagai berikut :
a. Menanamkan rasa disiplin dari ayah terhadap anak.
b. Memberikan pengawasan dan perlindungan terhadap anak oleh ibu.
c. Pencurahan kasih sayang dari kedua orang tua terhadap anak.
d. Menjaga agar tetap terdapat suatu hubungan yang bersifat intim dalam satu ikatan keluarga.
Disamping keempat hal yang diatas maka hendaknya diadakan pula:
a. Pendidikan agama untuk meletakkan dasar moral yang baik dan berguna.
b. Penyaluran bakat si anak ke arab pekerjaan yang berguna dan produktif.
c. Rekreasi yang sehat sesuai dengan kebutuhan jiwa anak.
d. Pengawasan atas lingkungan pergaulan anak sebaik-baiknya.
Sikap atau cara yang bersifat represif
Yaitu pihak orang tua hendaknya ikut serta secara aktif dalam kegiatan
sosial yang bertujuan untuk menanggulangi masalah kenakalan anak
seperti menjadi anggota badan kesejahteraan keluarga dan anak, ikut
serta dalam diskusi yang khusus mengenai masalah kesejahteraan
anak-anak. Selain itu pihak orang tua terhadap anak yang bersangkutan
dalam perkara kenakalan hendaknya mengambil sikap sebagai berikut :
a. Mengadakan introspeksi sepenuhnya akan kealpaan yang telah
diperbuatnya sehingga menyebabkan anak terjerumus dalam kenakalan.
b. Memahami sepenuhnya akan latar belakang daripada masalah kenakalan yang menimpa anaknya.
c. Meminta bantuan para ahli (psikolog atau petugas sosial) di dalam
mengawasi perkembangan kehidupan anak, apabila dipandang perlu.
d. Membuat catatan perkembangan pribadi anak sehari-hari.
Abstrak
Penelitian ini berangkat dari fenomena yang terjadi di lapangan bahwa
motivasi belajar siswa memberi pengaruh pada prestasi belajamya. Hal
ini dapat disebabkan oleh faktor lingkungan keluarga yang merupakan
tempat pertama dan utama anak tumbuh dan berkembang, bersosialisasi
bahkan mengenal dirinya sendiri.
Fenomena di atas mendorong penulis untuk mengkaji lebih jauh mengenai ”
Dampak Keluarga Broken Home terhadap Motivasi Belajar Siswa ”
Keluarga broken home yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
ketidakutuhan keluarga , baik secara stniktural maupun secara
fungsional.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapat gambaran motivasi belajar siswa yang berasal dari keluarga broken home.
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas dua di SMP Negeri Baleendah 2
Kabupaten Bandung dengan sampel sebanyak 48 orang siswa. Pengambilan
data dilakukan dengan studi dokumentasi terhadap buku pribadi siswa dan
penyebaran angket untuk mengungkap motivasi belajar siswa.
Pengolahan data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyeleksian data,
penyekoran serta analisis dengan cara mengelompokkan data dan
menggunakan teknik uji t perbedaan dua rata-rata yang menghasilkan
kesimpulan bahwa :
1. Terdapat perbedaan motivasi belajar antara siswa berasal dari
keluarga broken home dengan motivasi belajar siswa dari keluarga utuh.
2. Motivasi belajar siswa dari keluarga broken home lebih rendah daripada motivasi belajar siswa dari keluarga utuh
3. Keadaan keluarga broken home memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap motivasi belajar siswa.
Penelitian ini menghasilkan rekomendasi yang ditujukan pada peneliti
selanjutnya untuk meneliti variabel yang sama dengan jumlah sampel yang
relatif lebih besar sehingga hasil penelitian lebih representatif.
BH”. Jika kita mendengar kata itu, pikiran kita tertuju pada pakaian
dalam perempuan. Tetapi untuk “BH” yang satu ini mempunyai arti yang
lain. Broken Home (BH). Yah itulah artinya.
“BH” atau dengan arti kata lain perpecahan dalam keluarga merupakan
salah satu masalah yang kerap terjadi dalam kehidupan berumah tangga.
Apalagi di era digital yang seakan serba mudah dan bebas. Perkawinan
dan perceraian sudah merupakan hal yang biasa dan sudah dianggap tidak
tabu lagi. Itu sudah menjadi masalah tiap komunitas keluarga di muka
bumi ini.
Di dalam konflik rumah tangga terutama konflik antara suami– istri
kadang menimbulkan ha-hal yang berdampak negative. Salah satu dampak
negatif dari konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang paling
dominan adalah dampak terhadap perkembangan anak. Aktor utama “BH”
(suami istri) kadang jarang memikirkan dampak apakah yang akan terjadi
pada anak-anaknya apabila terjadi perpecahan atau perpisahan rumah
tangga.
Di artikel sederhana ini saya ingin memberikan gambaran-gambaran
singkat, padat dan mudah-mudahan jelas kepada para orang tua. Tentunya
mengenai dampak apa yang akan terjadi pada anak — yang nantinya menjadi
korban konflik orang tua—apabila terjadi konflik dalam rumah tangga
dan harus berakhir dengan “BH”.
Kejiwaan
Seorang anak korban “BH” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di
lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang
di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan
“BH”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses
belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke
pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang
menyendiri serta suka melamun.
Pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan
takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak
ada rasa percaya terhadap kehidupan religi yang sudah mendarah daging
sejak dia lahir dan lainnya. Tekanan mental itu mempengaruhi
kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stress dan frustrasi bahkan
seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hal seperti
itu bisa saja terjadi, apabila …?
Pelampiasan Diri
Kemungkinan terjemus dalam pengaruh negatif bagi orang tua (dewasa)
dalam konteks BH ini sangat kecil. Orang tua dapat mencari solusi untuk
menenangkan pikirannya. Namun berbeda dengan seorang anak yang sedang
menghadapi situasi BH. Anak-anak dapat saja terjerumus dalam hal-hal
negatif, apalagi dengan media informasi dan komunikasi yang menawarkan
banyak hal. Contoh konkritnya, merokok, minuman keras (alkohol),
obat-obat terlarang (narkoba) bahkan pergaulan bebas yang menyesatkan.
Refleksi
Mungkin mudah bagi orang tua untuk memvonis keputusan tentang
perpisahan atau perpecahan dalam rumah tangga, tapi apakah mudah bagi
anak-anak mereka untuk dapat menerima hal itu? Entalah! Itu merupakan
pertanyaan reflektif bagi orang tua!
Perpecahan dalam rumah tangga memang merupakan masalah yang tidak mudah
untuk dilepaskan dari kehidupan dalam rumah tangga. Memang jika kita
mengkaji lebih jauh kita akan dapat memahami sebagai suatu persoalan
yang wajar-wajar saja. Tetapi, apakah hal itu dapat dikendalikanya?
Memang sulit untuk menjawabnya dan jawabanya kembali kepada orang tua
(ayah-ibu) atau pelaku dalam konflik rumah tangga itu sendiri.
Kita sering melihat kasus-kasus perceraian artis dan perebutan hak
asuh anak sampai menyewa pengacara di layar televisi. Perceraian bagi
para artis seakan meningkatkan posisi tawar (popularitas) sehingga
harus menggunakan pengacara yang terkenal. Mereka tidak pernah berpikir
siapa yang akan dirugikan dalam permasalahan mereka. Mereka hanya
memikirkan popularitas dan diri sendiri dan menganggap semuanya dapat
dibeli dengan uang. Namun, kenyataananya apa yang mereka lakukan itu
merupakan kekalahan bagi anak-anak mereka dan jelas hal itu akan
menjadi trauma yang berkepanjangan pada psikis anak mereka.
Orang tua harus mampu mengendalikan diri dalam menyikapi masalah ini,
jangan sampai permasalahan mereka secara tidak langsung menjadi doktrin
boomerang negatif yang akan berkembang dalam psikis anak. Orang tua
sebagai panutan sekaligus guru yang menjadi contoh bagi anak dalam
belajar untuk hidup melalui berbagai proses yang semuanya tak lepas
dari tanggung jawab mereka. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik
bila orang tua juga mampu untuk mengontrol dan mengatasi persoalan
mereka sendiri tanpa harus mensosialisasikan perbedaan pendapat yang
mengarah ke konflik keluarga kepada anak.
Apakah sebagai orang tua senang jika anaknya menjadi hancur dalam
kehidupanya di saat mereka ingin tumbuh dan berkembang dengan cinta
kasih orang tuanya? Tentu saja jawabnya pasti “tidak” dan orang tua
paling tolol yang hanya diam dan tak berpendapat. Oleh sebab itu
sebagai orang tua berusahalah untuk mengendalikan hidup dalam situasi
apapun demi anak-anak kalian, jangan sampai BH menjadi budaya
penghancur kehidupan anak yang notabene adalah buah hati kalian sendiri
dan titipan TUHAN.